Polemik soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diperlakukan dalam Kongres IV PDI Perjuangan di Bali, bukan sebagai presiden, tapi sebagai petugas partai masih terus menghangat. Kader perempuan PDIP Rieke Diah Pitaloka yang selama pemerintahan SBY dikenal cukup kritis dan garang, akhirnya ikut bicara.
Rieke menyatakan, acara kongres partai adalah acara perhelatan konsolidasi kader partai dari seluruh Indonesia. Begitu pula Kongres IV PDI Perjuangan. Para kader,
yaitu petugas partai yang berada di tiga pilar besar partai yang ditugaskan di struktur partai. Diantaranya, eksekutif dan legislatif pusat maupun daerah, dan diwajibkan hadir dalam kongres partai, baik sebagai utusan maupun peninjau.
“Sama seperti kongres-kongres sebelumnya, PDI Perjuangan mengeluarkan instruksi bagi para kader yang ditugaskan di tiga pilar partai tersebut, yang terangkum dalam piagam perjuangan dan sikap politik partai, turunan dari AD/ART partai,” tegas menurut anggota Komisi IX DPR ini lewat siaran persnya kepada LICOM, Rabu (15/4/15).
Politikus perempuan yang selama pemerintahan SBY dikenal gigih membela TKI dan
buruh serta menolak keras setiap pemerintahan SBY menaikkan harga BBM ini, menegaskan, keduanya (piagam perjuangan dan turunan AD/ART partai) juga be- rfungsi sebagai “pengingat” kepada para petugas partai atas kontrak politik ideologis yang dilakukan partai saat pencalonan di legislatif dan eksekutif.
Secara substansi ideologis, menurut Rieke, instruksi Kongres ke IV PDI Perjuangan kepada para petugas partai tidak bergeser dari kongres sebelumnya, malah cenderung memperkuat hasil kongres sebelumnya.
“Sebagai bagian dari kerja politik ideologi yang membumi atau “working ideology”, wajib bagi setiap petugas partai terutama di eksekutif dan di legislatif untuk mela- hirkan kebijakan dan program politik yang searah dengan Pancasila 1 Juni 1945, tegak lurus konstitusi UUD 1945, dan memilih jalan Trisakti,” tandasnya.
Lantas, Rieke juga mengritisi soal tata kelola energy nasional yang harus “berwajah dan berwatak merah putih”. Meski tidak menyebut langsung soal kebijakan Presiden Jokowi terkait kenaikan harga BBM dan kebijakan terkait freeport, Rieke memper- tegas tata kelola energi nasional harus sesuai prinsip pasal 33 UUD 1945, dan tentu saja tidak boleh bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait harga BBM tidak boleh diserahkan pada harga pasar.
Atas sikap politik PDI Perjuangan itulah, lanjut anggota DPR yang terpilih kali kedua
ini, maka petugas partai dari PDI Perjuangan beberapa tahun lalu, yang bertugas di
eksekutif dan legislatif maupun struktur partai menolak kenaikan harga BBM.
Rieke membeberkan, sikap politik serupa itu juga ditegaskan kembali dalam Kongres IV PDI Perjuangan pada poin 19:
“Negara harus menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam upaya mewujudkan kedaulatan energy, untuk dimanfaatkan sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945 dan keputusan Mahkamah Konstitusi,” katanya.
PDI Perjuangan, tambah Rieke, mendorong revisi UU Pertambangan, Mineral dan Batubara dan UU tentang Minyak dan Gas Bumi yang “berwatak dan berwajah merah putih” dengan tujuan mengembalikan tata kelola energi nasional sesuai prinsip pasal 33 UUD 1945.
“Jadi, apa yang salah dengan penggunaan kata ‘petugas partai?’ Bagi saya yang salah
justru petugas partai yang lahirkan kebijakan yang tidak sesuai dengan ideologi par- tai, yaitu Pancasila 1 Juni 1945, bertentangan dengan UUD 1945, dan memilih jalan politik ekonomi bermazhab pasar, yang berlawanan dengan jalan Trisakti,” tegasnya seolah menyindir Presiden Jokowi.
“Jika hal demikian terjadi, maka yang bersangkutan memang tidak lagi merasa se- bagai petugas partai. Tapi, bisa dikategorikan sebagai oknum yang sekedar men- jadikan partai sebagai Angkot. Sampai di tujuan, yaitu kekuasaan politik, kontrak politik ideologis dengan partai ditinggalkan. Itu yang seharusnya dipermasalahkan karena merugikan rakyat dan negara,” pungkasnya. @endang.
-lensaindonesia-